Konferensi Mardin—Memahami Fatwa Ibnu Taimiyah

Oleh Syaikh Abdul-Wahhab at-Turayri, purna professor di al-imām University Riyadh

Alih bahasa dari artikel di: http://muslimmatters.org/2010/06/29/the-mardin-conference-%E2%80%93-a-detailed-account/

Saya ingin berbicara tentang Konferensi Mardin sebagai seseorang yang terlibat langsung dengannya sejak perencanaan hingga penutup ketika “Deklarasi Mardin Baru” dicetuskan. Konferensi ini didanai oleh Global Center for Renewal and Guidance (GCRG) bekerjasama dengan Mardin’s Artuklu University dengan tujuan mempelajari “Fatwa Mardin” Ibnu Taimiyah. Konferensi dipimpin oleh ulama terkemuka Syaikh Abdullah bin Bayyih. Dan memang, konferensi ini adalah inisiatif beliau. Beliau berharap konferensi ini dapat membawa Fatwa Mardin Ibnu Taimiyah dari fokus kewilayahan yang spesifik dimana fatwa ini diperuntukkan kepada fokus global yang lebih luas, dan dari jaman Ibnu Taimiyah menuju kepada pemahaman yang lebih kekal.

Untuk mencapai tujuan ini, konferensi membahas beberapa topik:
(1) Konsep pemahaman yang menyeluruh terhadap fatwa.
(2) Menentukan teks fatwa yang benar dan mengidentifikasi kesalahan dalam penyebarannya.
(3) Menentukan konsep pemahaman yang benar terhadap Fatwa Mardin berdasarkan dua hal di atas.
(4) Mencari manfaat fatwa untuk masa kini.

Pembahasan Pertama: Memahami Konsep Fatwa

Mardin adalah wilayah di Turki dimana Ibnu Taimiyah dilahirkan. Orang-orang Mongol menaklukkan dan menjajah Mardin ketika Ibnu Taimiyah berusia tujuh tahun, yang memaksa Beliau dan keluarganya untuk pergi.

Penduduk Mardin adalah Muslim. Ibnu Taimiyah menganggap penakluk Mongol yang menguasai mereka sebagai orang kafir, perusak, dan pembunuh, karena orang Mongol menunjukkan kekejaman yang luar biasa terhadap penduduk negeri itu. Situasi wilayah itu menunjukkan populasi Muslim yang hidup di bawa dominasi penguasa non-Muslim.

Ibnu Taimiyah ditanya tentang penduduk Mardin. Haruskan mereka dianggap munafik? Apakah ada kewajiban terhadap mereka untuk hijrah? Apakah Mardin masih dianggap sebagai negeri Muslim?
Jawaban Beliau—dikenal sebagai fatwa Mardin—menunjukkan point-point berikut dengan gamblang:

  1. Jiwa dan harta penduduk Mardin tidak boleh diganggu. Hidup mereka dibawah Mongol tidak mengurangi satupun hak mereka, tidak boleh difitnah secara lisan atau dituduh sebagai munafik.
  2. Selama penduduk Mardin dapat melakukan ibadah mereka, mereka tidak diwajibkan untuk hijrah.
  3. Mereka seharusnya tidak membantu orang-orang yang memerangi Muslim, ketika mereka dipaksa untuk mendukung, menghindarlah atau menghilang.
  4. Wilayah ini bukan bagian negeri Muslim secara keseluruhan, karena berada di bawah dominasi Mongol, tidak juga bagian negeri non-Muslim karena populasinya Muslim. Faktanya, wilayah ini adalah campuran dari keduanya. Kaum Muslimin yang tinggal di dalamnya harus diperlakukan berdasarkan hak mereka sebagai Muslim, sedangkan non-Muslim yang hidup di sana berada di luar kekuasaan hukum Islam harus diperlakukan berdasarkan hak mereka.

Nuansa penjelasan Ibnu Taimiyah tentang wilayah ini menunjukkan kecerdasan Beliau dalam menjawab pertanyaan dan situasi yang rumit.

Pembahasan Kedua: Menentukan Kata-kata Fatwa yang Sebenarnya

Teks fatwa adalah sebagai berikut:
Ibnu Taimiyah ditanya tentang negeri Mardin. Apakah wilayah perang atau damai? Apakah Muslim yang tinggal di sana diwajibkan untuk berhijrah ke negeri Muslim yang lain? Jika mereka diwajibkan berhijrah dan gagal melakukannya, dan jika mereka membantu musuh Islam dengan jiwa dan harta mereka, apakah mereka berdosa melakukannya? Apakah berdosa orang yang menuduh mereka sebagai munafik dan memfitnah mereka secara lisan?

Ibnu Taimiyah menjawab:

Segala puji hanya bagi Allah. Jiwa dan harta Muslim tidak boleh diganggu, entah mereka hidup di Mardin atau dimanapun. Membantu musuh Islam adalah haram, entah mereka yang membantu adalah penduduk Mardin atau lainnya. Orang yang tinggal di sana, jika mereka tidak dapat beribadah sesuai syariat, maka mereka diwajibkan untuk hijrah. Jika sebaliknya, lebih baik untuk pindah tetapi mereka tidak diwajibkan untuk itu. Haram bagi mereka untuk membantu musuh kaum Muslim dengan jiwa dan harta mereka. Mereka harus menolaknya dengan cara apapun yang mereka bisa, seperti menghilang, menghindar atau berusaha menyanjung. Jika satu-satunya jalan adalah hijrah, maka itulah yang wajib mereka lakukan. Haram untuk memfitnah dan menuduh mereka munafik. Menjelek-jelekkan dan menuduh munafik harus berdasarkan dalil Qur’an dan Sunnah dan ini berlaku khusus terhadap beberapa orang saja, baik itu penduduk Mardin atau penduduk manapun.

Apakah wilayah itu wilayah perang atau damai, ini adalah situasi yang rumit. Wilayah itu bukan tempat tinggal yang damai dimana syariat Islam diberlakukan dan dijaga oleh pasukan Muslim. Wilayah itu juga bukan untuk diperangi karena penduduknya bukan orang kafir. Wilayah itu masuk kelompok ketiga. Kaum Muslim yang tinggal di sana harus diperlakukan berdasarkan hak mereka sebagai Muslim, sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar kekuasaan hukum Islam harus diperlakukan berdasarkan hak mereka.

Muncul perbedaan pada beberapa naskah dari fatwa ini pada kalimat terakhir, “Kaum Muslim yang tinggal di sana harus diperlakukan berdasarkan hak mereka sebagai Muslim, sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar kekuasaan hukum Islam harus diperlakukan berdasarkan hak mereka.”
Pada beberapa naskah, teksnya hilang sehingga terbaca, “.. sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar hukum Islam harus diperangi sebagaimana mereka seharusnya.”
Perubahan makna ini ada akibat tergantinya dua huruf dalam satu kata. Kata yang benar adalah “yu’aamal” (harus diperlakukan), terbaca sebagai “yuqaatal” (harus diperangi). Kesalahan tipografik ini mengubah makna dari satu frasa secara drastis.

Kata-kata yang benar dari fatwa ini muncul di naskah-naskah berikut:

  1. Satu-satunya salinan manuskrip fatwa yang diketahui adalah manuskrip Perpustakaan Zahiriyah (2757) yang disimpan di Perpustakaan Asad di Damaskus.
  2. Fatwa ini dikutip oleh murid Ibnu Tamiyah, Ibnu Muflih dalam Adab asy-Syariah (1/212), dengan kata-kata yang benar, “..sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar kekuasaan hukum Islam harus diperlakukan berdasarkan hak mereka.”
  3. Fatwa ini juga dikutip dengan benar di ad-Durur as-Saniyah (12/248)
  4. Syaikh Rashid Rida mengutipnya dengan benar di dalam jurnal al-Manār.

Kata-kata yang hilang ini pertama kali muncul sekitar 100 tahun yang lalu dalam Fatawa Ibnu Taimiyah yang dicetak dan dipublikasikan oleh Farajullah al-Kirdi edisi tahun 1909. Selanjutnya, Syaikh Abdurrahman al-Qasim mencetak dan mempublikasikan berdasarkan naskah Kirdi tersebut, dan karenanya mengulang kesalahan (28/248).

Karena luasnya peredaran Fatawa edisi ini, kata-kata yang tidak akurat tersebut diketahui oleh masyarakat umum dan pelajar-pelajar ilmu agama. Begitu pula, ketika fatwa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan lainnya menggunakan naskah ini. Akibatnya, reputasi Islam menjadi rusak dan beberapa orang muda di Barat yang mauk Islam mendapatkan kesan yang salah terhadap ajaran Islam.

JIka Konferensi Mardin dapat menunjukkan kesalahan ini dan memperbaikinya, maka ini sudah cukup.

Pembahasan Ketiga: Menentukan Makna Fatwa yang Benar

Kata-kata yang hilang dari fatwa Mardin menjadi dasar legitimasi beberapa kelompok militan dalam masyarakat Muslim. Mereka yang menggunakan fatwa ini menurut kepentingan mereka adalah Abdussalam Farah dalam kitabnya al-Farīdah ahl-Ghā’ibah (h. 6), yang menjadi manifesto kelompok militan.

Beberapa ulama telah membantah kesimpulan Abdussalam Faraj, termasuk mantan rektor al-Azhar Syaikh Jad al-Haqq, dan Ketua Dewan Fatwa al-Azhar Syaikh `Atiyyah Saqar. Mereka berhasil membahas implikasi fatwa Mardin berdasarkan konteksnya, walau mereka menerima naskah yang telah berubah. Andaikan mereka tahu naskah yang benar, itu akan menghindarkan mereka dari banyak masalah.

Alasan mengapa kelompok militan memakai fatwa Mardin adalah untuk melegitimasi perilaku mereka berdasarkan frasa yang berubah, “..sedangkan non-Muslim yang tinggal di sana dan berada di luar hukum Islam harus diperangi sebagaimana mereka seharusnya.” Frasa ini berimplikasi pada dua hal:

  1. Perintah untuk berperang diberikan dalam kalimat pasif, tanpa menyatakan siapa yang memerintahkannya. Kelompok militan menggunakan ini sebagai ijin untuk mereka sendiri mengangkat senjata terhadap orang-orang di dalam negeri dan komunitas Muslim.
  2. Frasa “di luar kekuasaan hukum Islam” menjadi ambigu dalam konteks perubahan tulisan. Ia dapat diartikan menjadi hampir siapa saja, mulai dari orang yang melakukan dosa kecil hingga dosa besar. Hal ini memberikan jangkauan yang lebih lebar terhadap kelompok Militan untuk menginterpretasikan perbuatannya.

Sekali kata-kata yang benar diketahui, apa yang menjadi dasar kelompok Militan menjadi tidak dapat digunakan sama sekali secara keseluruhan. Pemahaman fatwa menjadi sangat berbeda. Kata-kata yang benar menekankan keharaman mengganggu jiwa dan harta kaum Muslim. Fatwa sangat jelas menekankan, “Jiwa dan harta penduduk Mardin tidak boleh diganggu, entah mereka hidup di Mardin atau dimanapun… Haram untuk memfitnah dan menuduh mereka munafik.”

Dan juga, jelas bahwa wilayah seperti Mardin adalah bukan wilayah dimana Hukum Islam diterapkan bukan juga wilayah konflik. Ibnu Taimiyah dalam fatwanya menyatakan bahwa Muslim dapat tinggal di sana selama mereka bebas mengamalkan agamanya dan diperlakukan oleh Muslim lain berdasarkan hak mereka sebagai Muslim, dan non-Muslim yang tinggal di sana dan mereka yang bukan subyek aturan Islam harus mendapatkan hak mereka juga.
Inilah yang sesungguhnya dikatakan fatwa Mardin, berdasarkan teks aslinya.

Pembahasan Keempat: Relevansi di Jaman Kita

Ibnu Taimiyah, dalam fatwa Beliau, memahami bahwa dunia tidak secara sederhana dibagi dalam wilayah Islam dan wilayah non Islam, tidak seperti pendahulu Beliau yang mempertahankan pandangan dualistik ini.

Beliau memahami bahwa ada jenis masyarakat ketiga yang memiliki kedua aspek tersebut. Lebih jauh, Beliau menyatakan bahwa Muslim dapat hidup di lingkungan seperti ini selama mereka bebas mengamalkan agamanya dan bahwa semua orang harus menerima hak mereka. Muslim harus mengenali hak keagamaan rekan Muslim mereka yang tinggal di negeri itu, dan juga hak non-Muslim di sana yang bukanlah subyek Hukum Islam.

Fatwa ini memiliki relevansi dalam dunia yang pluralistik hari ini, dimana hampir tidak ada negeri yang tidak ditinggali Muslim. Kaum Muslimin hidup di bawah kondisi yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Pada beberapa negara, minoritas Muslim menikmati hak mereka untuk mengamalkan keyakinan mereka. Mereka dibolehkan beribadah sesuai ajaran Islam dan tidak dipaksa menyembunyikan atau meninggalkan keyakinan mereka. Negara-negara ini mungkin bukanlah bagian wilayah Muslim, tapi di sana jelas adalah negeri yang damai dan aman.

Kita dapat melihat bahwa Nabi Muhammad SAW mengirimkan kelompok hijrah yang pertama dari Makkah ke Abissinia, sebuah negeri non-Muslim, dan Beliau melakukannya karena itu adalah negeri yang damai dan aman dimana Muslim aman dalam agamanya. Ini karena raja Abissinia adalah raja yang tidak pernah merugikan penduduk di bawah kekuasaannya.

Ini adalah inti dari Deklarasi Mardin Baru, yang telah diratifikasi oleh delegasi yang hadir di akhir Konferensi Mardin.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.